dari berbagai sumber
(Dosen Fakultas Pertanian Unsri)
Penulis pertama kali mengunjungi situs ini pada tahun 1985 atas ajakan Bapak Haji Nang Din Syukur, pemilik Hotel Darma Karya Pagaralam. Pada waktu itu yang dilihat arca "orang dipagut ular", "rumah di dalam tanah" dan beberapa batu tegak yang pipih sebagai penutup pintu rumah tersebut.
Kunjungan kedua ke situs ini pada tahun 1999 sewaktu mengantar karyasiswa Pasca-Sarjana Universitas Sriwijaya yang melakukan penelitian tanaman gandum di Jarai.
Pada suatu malam di bulan Oktober 2001 kebetulan penulis menonton siaran tentang kepurbakalaan di TVRI yang menyatakan bahwa peninggalan budaya megalitik di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan adalah budaya megalitik tertua di Indonesia yakni 4.000 tahun yang lalu (2.000 tahun B.C). Informasi itu telah menggelitik penulis untuk urun pendapat, lebih-lebih bila diingat Bpk Mayjen Harun Sohar pernah berpesan sewaktu penulis menyampaikan Pidato Dies Natalis Unsri tahun 1983: "Anda harus melihat berbagai peninggalan purbakala di kampung saya". Pesan tersebut beliau kemukakan karena penulis menyajikan "batu gajah" dalam pidato tersebut.
Barangkali perlu diterangkan terlebih dahulu istilah megalit. Istilah megalith berasal dari bahasa Yunani berarti big stone, artinya batu besar. Beberapa megalit berupa batu besar yang panjang ditegakkan seperti pilar disebut dengan istilah ilmiah "menhir" berarti long stone=batu panjang. Istilah ini disarankan oleh sarjana Prancis, bernama Legrand ‘d Aussy yang mengambilnya dari bahasa Prancis Kuno. Hamparan batu-batu tersebut disebut "dolmen". Jadi jelas bahwa hamparan batu-batu itu ada susunan dan sistemnya.
Kunjungan penulis berikutnya ke situs Tanjung Aro ini pada bulan Maret 2002. Pada kunjungan ini barulah penulis agak intensif memperhatikan penyebaran batu-batu di desa ini. Ada tiga jajaran batu di sini sepanjang 1 km dan lebarnya 50 m. Hampir semua batu-batu ini adalah batuan Andesit dari gunung berapi, jumlahnya 53 buah. Bila ditambah dengan "arca orang mendukung anak" yang sekarang ditempatkan di museum Bala Putra Dewa di Palembang maka jumlahnya 54 buah.
Ada beberapa batu yang penampilannya istimewa di sini yakni: "arca orang dipagut ular", "batu kompas", "batu menyesui", "batu beraganjal tiga" sebanyak dua buah, "arca musibah" dan arca "orang mendukung anak" yang lokasi tepatnya pada batu jajar ini belum penulis ketahui.
Apa maksud dan tujuan dolmen ini diidirikan?
Merujuk kepada Monumen Megalitik "Stonehenge" yang diteliti di Inggeris pada tahun 1963 oleh Gerald Hawkins-ahli Astronomi pada Universitas Boston, di mana ia berkesimpulan bahwa Stonehenge di Inggris itu adalah observatorium astronomi, maka kemungkinan besar dolmen di Tanjung Aro ini juga merupakan Observatorium Astronomi. Bukti sepintas dapat dikatakan bahwa ajaran batu yang di tengah menunjukkan terbit dan terbenamnya matahari pada Khatulistiwa yakni pada bulan Maret dan bulan September, sedang jajaran batu sebelah Utara menunjukkan terbit dan terbenamnya matahari bulan Juni dan jajaran batu sebelah Selatan menunjukkan terbit dan terbenamnya matahari bulan Desember.
Bila kita dapat mencari dan menemukan batu-batu sebagai stasion pengamatan maka terbit dan terbenamnya bulan pada saat tertentu juga dapat diketahui. Demikian pula posisi bintang-bintang utama di langit.
Seharusnya jumlah batu pada dolmen ini 56 buah, untuk menunjukkan bahwa siklus gerhana matahari pada suatu tempat selama 56 tahun. Jadi ada dua batu lagi yang harus dicari dan ditentukan posisinya. Mungkin batu yang hilang itu sudah menjadi bahan bangunan. Maklum desa Tanjung Aro dilalui jalan raya dan sebagian dolmen sudah menjadi pemukiman penduduk.
Pada kesempatan ini penulis mengimbau Pemerintah terutama Pemerintah Daerah agar lebih memperhatikan dan memelihara peninggalan budaya ini. Jangan sampai terjadi monumen ini hilang begitu saja ditelan pembangunan karena letaknya di dalam Kota Pagaralam.
Oleh karena itu situs ini merupakan salah satu Monumen Megalitik tertua di Indonesia, tidak ada salahnya bila Pemda Sumatera Selatan memberi perhatian lebih dan menempatkan atau meng-upgrade petugas yang menjaga situs ini sehingga pengunjung akan lebih mengerti tentang situs ini. Hal ini sangat besar artinya bagi pengembangan pariwisata di Sumatera Selatan khususnya di Kota Pagaralam.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Batu Jajar di Tanjung Aro Monumen Megalitik Tertua
Prof. Dr. Moerdif Ba`as(Dosen Fakultas Pertanian Unsri)
Penulis pertama kali mengunjungi situs ini pada tahun 1985 atas ajakan Bapak Haji Nang Din Syukur, pemilik Hotel Darma Karya Pagaralam. Pada waktu itu yang dilihat arca "orang dipagut ular", "rumah di dalam tanah" dan beberapa batu tegak yang pipih sebagai penutup pintu rumah tersebut.
Kunjungan kedua ke situs ini pada tahun 1999 sewaktu mengantar karyasiswa Pasca-Sarjana Universitas Sriwijaya yang melakukan penelitian tanaman gandum di Jarai.
Pada suatu malam di bulan Oktober 2001 kebetulan penulis menonton siaran tentang kepurbakalaan di TVRI yang menyatakan bahwa peninggalan budaya megalitik di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan adalah budaya megalitik tertua di Indonesia yakni 4.000 tahun yang lalu (2.000 tahun B.C). Informasi itu telah menggelitik penulis untuk urun pendapat, lebih-lebih bila diingat Bpk Mayjen Harun Sohar pernah berpesan sewaktu penulis menyampaikan Pidato Dies Natalis Unsri tahun 1983: "Anda harus melihat berbagai peninggalan purbakala di kampung saya". Pesan tersebut beliau kemukakan karena penulis menyajikan "batu gajah" dalam pidato tersebut.
Barangkali perlu diterangkan terlebih dahulu istilah megalit. Istilah megalith berasal dari bahasa Yunani berarti big stone, artinya batu besar. Beberapa megalit berupa batu besar yang panjang ditegakkan seperti pilar disebut dengan istilah ilmiah "menhir" berarti long stone=batu panjang. Istilah ini disarankan oleh sarjana Prancis, bernama Legrand ‘d Aussy yang mengambilnya dari bahasa Prancis Kuno. Hamparan batu-batu tersebut disebut "dolmen". Jadi jelas bahwa hamparan batu-batu itu ada susunan dan sistemnya.
Kunjungan penulis berikutnya ke situs Tanjung Aro ini pada bulan Maret 2002. Pada kunjungan ini barulah penulis agak intensif memperhatikan penyebaran batu-batu di desa ini. Ada tiga jajaran batu di sini sepanjang 1 km dan lebarnya 50 m. Hampir semua batu-batu ini adalah batuan Andesit dari gunung berapi, jumlahnya 53 buah. Bila ditambah dengan "arca orang mendukung anak" yang sekarang ditempatkan di museum Bala Putra Dewa di Palembang maka jumlahnya 54 buah.
Ada beberapa batu yang penampilannya istimewa di sini yakni: "arca orang dipagut ular", "batu kompas", "batu menyesui", "batu beraganjal tiga" sebanyak dua buah, "arca musibah" dan arca "orang mendukung anak" yang lokasi tepatnya pada batu jajar ini belum penulis ketahui.
Apa maksud dan tujuan dolmen ini diidirikan?
Merujuk kepada Monumen Megalitik "Stonehenge" yang diteliti di Inggeris pada tahun 1963 oleh Gerald Hawkins-ahli Astronomi pada Universitas Boston, di mana ia berkesimpulan bahwa Stonehenge di Inggris itu adalah observatorium astronomi, maka kemungkinan besar dolmen di Tanjung Aro ini juga merupakan Observatorium Astronomi. Bukti sepintas dapat dikatakan bahwa ajaran batu yang di tengah menunjukkan terbit dan terbenamnya matahari pada Khatulistiwa yakni pada bulan Maret dan bulan September, sedang jajaran batu sebelah Utara menunjukkan terbit dan terbenamnya matahari bulan Juni dan jajaran batu sebelah Selatan menunjukkan terbit dan terbenamnya matahari bulan Desember.
Bila kita dapat mencari dan menemukan batu-batu sebagai stasion pengamatan maka terbit dan terbenamnya bulan pada saat tertentu juga dapat diketahui. Demikian pula posisi bintang-bintang utama di langit.
Seharusnya jumlah batu pada dolmen ini 56 buah, untuk menunjukkan bahwa siklus gerhana matahari pada suatu tempat selama 56 tahun. Jadi ada dua batu lagi yang harus dicari dan ditentukan posisinya. Mungkin batu yang hilang itu sudah menjadi bahan bangunan. Maklum desa Tanjung Aro dilalui jalan raya dan sebagian dolmen sudah menjadi pemukiman penduduk.
Pada kesempatan ini penulis mengimbau Pemerintah terutama Pemerintah Daerah agar lebih memperhatikan dan memelihara peninggalan budaya ini. Jangan sampai terjadi monumen ini hilang begitu saja ditelan pembangunan karena letaknya di dalam Kota Pagaralam.
Oleh karena itu situs ini merupakan salah satu Monumen Megalitik tertua di Indonesia, tidak ada salahnya bila Pemda Sumatera Selatan memberi perhatian lebih dan menempatkan atau meng-upgrade petugas yang menjaga situs ini sehingga pengunjung akan lebih mengerti tentang situs ini. Hal ini sangat besar artinya bagi pengembangan pariwisata di Sumatera Selatan khususnya di Kota Pagaralam.
Dolmen Jadi Tempat Bermain Anak-anak
SRIPOKU.COM, PAGARALAM - Dari
Ekspedisi Megalitikum Sripo pada hari ketiga, Kamis (29/12/2011),
ditemukan ada situs berupa Dolmen di Tanjung Aro, Pagaralam, yang berada
ditengah-tengah pemukiman atau perumahan warga.
Laporan
anggota tim ekspedisi menyebutkan, Dolmen tersebut berukuran besar dan
beralasan batu-batu kecil sebanyak empat buah. Warga menyebutkan batu
yang ukuran lebih kecil itu merupakan tiang dari Dolmen tersebut.
Menurut
warga setempat, keberadaan Batu Dolmen yang berada ditengah pemukiman
menjadi situs itu sebagai tempat bermain anak-anak ditempat tersebut.
Penulis : Andi Agus Triyono
Editor : Soegeng Haryadi
Pagaralam Kaya Akan Peninggalan Megalitikum
Berbicara
mengenai sejarah, pandangan kita tidak akan pernah lepas dari
pengertian peristiwa masa lalu. Menurut Romein (dalam Tamburaka,
1999:2), ia menyatakan bahwa sejarah merupakan peristiwa dan kejadian
yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Tetapi meskipun demikian,
pengetahuan tentang sejarah ini sangatlah penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sejauh ini pelajaran sejarah selalu diidentikkan
sebagai pelajaran yang sangat membosankan, pelajaran yang penuh hafalan
serta pelajaran yang kurang diminati oleh siswa. Padahal pelajaran
sejarah mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Dengan
sejarah kita dapat mempertebal semangat kebangsaan, rasa cinta tanah
air, mengetahui peristiwa-peristiwa masa lalu serta hasil-hasil
kebudayaannya, selain itu dengan mempelajari sejarah akan membuat kita
belajar untuk bijaksana.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang sering
membicarakan masalah kebudayaan. Bahkan tidak ada seorang pun yang tidak
pernah berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari orang pasti
melihat, mempergunakan bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan itu
sendiri.
Menurut E.B Tylor (dalam Soekanto, 2006:150)
kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain-lain, serta kemampuan dan
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
(dalam Soekanto, 2006:151) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil
karya, rasa dan cipta masyarakat.
Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang erat sekali. Tidak mungkin keduanya itu dipisahkan. Ada manusia ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya, ialah manusia (Soekmono, 1981:9).
Kota Pagaralam merupakan salah satu daerah yang
banyak menyimpan peninggalan megalithikum yang dapat digunakan sebagai
salah satu media pembelajaran dalam meningkatkan pemahaman siswa.
Megalitikum berasal dari kata mega yang berarti besar dan lithos berarti batu. Menurut
Soekmono (1981:72), peninggalan megalitikum adalah peninggalan
kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar.
Tradisi
pendirian bangunan-bangunan megalitikum selalu berdasarkan pada
kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati
terhadap kesejahteraan masyarakat serta kesuburan tanaman. Jasa dari
seorang kerabat yang telah mati diabadikan dengan mendirikan bangunan
batu besar. Bangunan ini kemudian menjadi medium penghormatan, tempat
singgah dan sekaligus menjadi lambang orang yang sudah mati
(Poesponegoro, 1993:205).
Berdasarkan konsep Von Heine Geldern tentang penyebaran kebudayaan megalitik ke Indonesia terjadi dalam dua gelombang, yaitu :
1. Megalitik
Tua, yang diwakili oleh menhir, undak batu dan patung-patung simbolis
monumental bersama-sama dengan pendukung kebudayaan beliung yang
diperkirakan berusia 2500-1500 SM dan dimasukkannya dalam masa neolitik.
2. Megalitik
Muda, yang diwakili antara lain oleh peti kubur batu, dolmen,
sarkofagus, yang berkembang dalam masa yang telah mengenal perunggu dan
berusia sekitar awal milenium pertama sebelum Masehi hingga abad-abad
pertama Masehi (Poesponegoro, 1993:223-224).
Bangunan megalitik tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia.
Bentuknya pun bermacam-macam dan meskipun sebuah bentuk berdiri sendiri
ataupun beberapa bentuk merupakan suatu kelompok. Maksud utama dari
pendirian bangunan tersebut tak luput dari latar belakang pemujaan nenek
moyang dan pengharapan kesejahteraan bagi yang masih hidup, serta
kesempurnaan si mati (Poesponegoro, 1993:210-211).
Bangunan
megalitik yang tersebar di Sumatera terdapat di bagian selatan pulau
tersebut, yaitu di dataran tinggi Besemah. Daerah ini terletak di antara
Bukit Barisan dan Pegunungan Gumai di lereng Gunung Dempo. Peninggalan
megalitik di daerah ini pernah dilaporkan oleh Ullman (1850), Tombrink
(1870), Engelhard (1891), Krom (1918), Westenenk (1922), dan Hoven
(1927), yang hampir semuanya beranggapan bahwa bangunan-bangunan
tersebut merupakan peninggalan Hindu. Baru setelah Van Eerde mengunjungi
tempat tersebut pada tahun 1929, diperoleh pendapat yang berbeda dengan
anggapan para ahli yang lain, ia menyatakan bahwa peninggalan di
Besemah tidak dipengaruhi oleh budaya Hindu, dan masih termasuk dalam
jangkauan masa prasejarah (Poesponegoro, 1993:211-212).
Peninggalan
tradisi megalitik di daerah Besemah (Sumatera Selatan) merupakan
peninggalan warisan budaya bangsa yang sangat penting artinya.
Peninggalan batu besar Besemah muncul dalam bentuk yang begitu unik,
langka dan mengandung kemegahan dan keagungan serta terwujud dalam
bentuk-bentuk yang sangat monumental. Pengertian unik dan langka disini
diartikan bahwa megalit disini tampil dalam bentuk yang berbeda dengan
megalit di tempat lain. Munculnya pahatan-pahatan Besemah ditandai
dengan ciri-ciri kebebasan sang seniman disertai gaya
gerak dan liku-liku pahatan yang nyata dan tampak hidup, sehingga wujud
megalit begitu dinamis. Peninggalan tradisi megalitik Besemah merupakan
suatu warisan nenek moyang yang tidak hanya diwariskan budaya material
yang begitu menakjubkan. Dibalik itu semua tersimpan nilai-nilai yang
menjadi tanda dan bukti otentik dari aktifitas yang dapat ditauladani,
seperti yang pernah dikatakan oleh Prof. Dr. Haryati Subadio bahwa:
Keterampilan-keterampilan
yang tampak dalam pembuatan benda peninggalan masa lampau selanjutnya
dapat juga dilestarikan dalam upaya meningkatkan kemampuan mental masa
kini, apabila dijadikan contoh untuk menumbuhkan kembali keterampilan
yang bersangkutan lewat pendidikan khusus. Pembuatan benda-benda masa
lampau beserta sekalian keterampilan yang diperlukan untuk
menyelesaikannya, terutama disiplin dan upaya kerja keras yang dimasa
kini sangat perlu kita tumbuh kembangkan kembali (Sukendar, 2003:2).
Pada
masa berkembangnya tradisi megalitik inilah muncul hasil-hasil budaya
material dalam bentuk monumental yang bersifat sangat dinamis. Kerena
sifat kedinamisannya itulah ada yang menyebut bahwa megalitik Besemah
sebagai Strongly dynamic agitated, Von Heine Geldern menyebut
demikian berdasarkan bukti-bukti akan tampilnya arca-arca megalitik yang
bersifat sangat dinamis dan menunjukkan perubahan-perubahan secara
mendasar dari bentuk arca menhir yang bersifat statis ke arca-arca yang
dipahatkan dengan anggota tubuh dan badan yang mengandung gerak
bervariasi. Tampilnya bentuk-bentuk megalit yang bersifat monumental
dengan ukuran yang besar-besar seperti dijumpai di daerah Besemah
sebenarnya mencerminkan suatu keagungan yang luar biasa. Keagungan
tersebut diwarnai oleh nilai-nilai yang terkandung dalam bangunan baik
berupa susunan batu-batu besar sebagai teras berundak, dalam bentuk
arca-arca megalitik yang berukuran raksasa, dalam kubur-kubur batu,
susunan menhir yang besar-besar dan lain-lain (Sukendar, 2003:8).
Menurut
Sukendar (2003:35-37), peninggalan megalitikum di dataran tinggi
Besemah terdiri dari bermacam-macam peninggalan, antara lain:
1. Arca Megalitik
Yaitu
pahatan dalam bentuk tokoh manusia atau binatang. Arca megalitik
biasanya dipahatkan dengan anggota badan yang lengkap dari kepala sampai
kaki. Arca ini ada yang dipahatkan berdiri sendiri tetapi ada juga yang
digambarkan sedang mengapit binatang. Arca megalitik besemah tampil
dalam bentuk yang sangat monumental dalam arti dipahatkan dalam ukuran
besar. Arca megalitik biasanya merupakan personifikasi dari nenek
moyang, yang dipergunakan dalam kaitannya dengan upacara atau pemujaan
untuk usaha mendekatkan diri dengan arwah nenek moyang. Ciri-ciri umum
yang tampil dalam arca ini adalah:
a. Badan dan anggota badan digambarkan dalam bentuk tambun
b. Bibir tebal, hidung pesek dan mata bulat
c. Bagian kepala lebih ke depan dari bagian tubuhnya sehingga seakan-akan bungkuk
d. Arca ada yang dipahatkan mengapit kerbau atau gajah
e. Kadang
pada bagian punggung terdapat nekara perunggu atau anak dan pada bagian
pinggang terselib sebuah belati tipe Dongson (Sukendar, 2003:57-58).
Yuniarti
(wawancara, tanggal 20 Juni 2010), mengatakan bahwa arca megalitik di
Besemah terdiri dari bermacam-macam arca dengan bentuk yang beraneka
ragam yang terdapat di beberapa situs, seperti:
a. Arca manusia dililit ular
Arca
ini terletak dilahan persawahan Desa Tanjung Aro Kecamatan Pagaralam
Utara. Arca ini menyimpan sebuah legenda yang mengandung pesan moral,
menurut cerita rakyat setempat di daerah ini merupakan daerah yang suci
dan sakral, adat istiadat dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat
sehingga siapa saja yang melanggar adat istiadat tersebut akan
menanggung akibatnya. Arca ini disebut arca manusia dililit ular karena
tokoh yang terdapat dalam arca ini melakukan pelanggaran yaitu perbuatan
terlarang yang sangat bertentangan dengan norma adat. Jangankan
manusia, ularpun sebagai binatang sangat murka sehingga ular itu melilit
kedua tokoh dan akhirnya batu itu dinamakan arca manusia dililit ular.
Lokasi Tanjung Aro